Dapatkah anda menyaksikan betapa luasnya hamparan pasir yang di sepanjang Pantai Retak Ilir di atas? Mari kita perhatikan juga rapatnya pohon cemara laut yang menjadi pagar raksasa bagi pantai. Pantai yang yang meyambung dengan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Air Itam ini membuat panjang pantai ini menjadi 7 km & cukup menantang untuk di explorasi. Sejauh mata memandang, kita tidak melihat ada aktifitas pengunjung wisatawan umum. Dikejauhan hanya terdapat 1 orang rekan saya yang sedang melakukan penelitian tentang Lingkungan Fisik Peneluran Penyu.
Untuk mencapai Pantai ini, saya bersama rekan saya harus berjalan naik Ojek dengan kondisi jalan yang tidak mulus. Desa terakhir untuk mencapai pantai ini bernama Desa Retak Mudik. Salah satu penduduk yang kami tumpangi rumahnya adalah Pak Arifin, yang berasal dari suku Sunda. Bapak ini dulunya ikut dalam program transmigrasi.
Dari rumah Pak Arifin, kami harus berjalan lagi kurang lebih sejauh 800 meter. Perjalanan melewati ladang penduduk, sawah & daerah rawa. Terlihat ada sedikit barisan pohon yang jarang, maka itulah pintu gerbang masuk ke pantai ini. Tidak jauh dari pintu pantai ini ada sungai yang melintang yang menembus ke laut. Kami harus melewati sungai itu agar dapat menuju arah TWA Air Itam. Perjalanan ini kami tempuh untuk mencari titik peneluran penyu yang akan dijadikan bahan penelitian. Pendaratan penyu harus kami tunggu mulai dari sore, malam hingga pagi hari. Malam ini kami ditemani hangatnya api unggun & deburan ombak yang seolah ingin terlibat dalam perbincangan kami. Di pantai yang sepi begini, dimalam hari hanya ada 2 orang yang kami temui sedang menjaring ikan. Ikan segar yang ditukar dengan sebungkus rokok & kopi menjadi teman bincang-bincang kami dalam membahas segala macam topik kehidupan.
Satu pemikiran saya malam itu, "Beginilah alaminya Pantai Panjang di Kota Bengkulu di masa penduduknya masih sedikit. Bagaimana nasib pantai ini jika nanti penduduknya berkembang?"
Untuk mencapai Pantai ini, saya bersama rekan saya harus berjalan naik Ojek dengan kondisi jalan yang tidak mulus. Desa terakhir untuk mencapai pantai ini bernama Desa Retak Mudik. Salah satu penduduk yang kami tumpangi rumahnya adalah Pak Arifin, yang berasal dari suku Sunda. Bapak ini dulunya ikut dalam program transmigrasi.
Dari rumah Pak Arifin, kami harus berjalan lagi kurang lebih sejauh 800 meter. Perjalanan melewati ladang penduduk, sawah & daerah rawa. Terlihat ada sedikit barisan pohon yang jarang, maka itulah pintu gerbang masuk ke pantai ini. Tidak jauh dari pintu pantai ini ada sungai yang melintang yang menembus ke laut. Kami harus melewati sungai itu agar dapat menuju arah TWA Air Itam. Perjalanan ini kami tempuh untuk mencari titik peneluran penyu yang akan dijadikan bahan penelitian. Pendaratan penyu harus kami tunggu mulai dari sore, malam hingga pagi hari. Malam ini kami ditemani hangatnya api unggun & deburan ombak yang seolah ingin terlibat dalam perbincangan kami. Di pantai yang sepi begini, dimalam hari hanya ada 2 orang yang kami temui sedang menjaring ikan. Ikan segar yang ditukar dengan sebungkus rokok & kopi menjadi teman bincang-bincang kami dalam membahas segala macam topik kehidupan.
Satu pemikiran saya malam itu, "Beginilah alaminya Pantai Panjang di Kota Bengkulu di masa penduduknya masih sedikit. Bagaimana nasib pantai ini jika nanti penduduknya berkembang?"